Langsung ke konten utama

Revitalisasi Manajemen Haji




    Oleh Akhir Matua Harahap
    Penyelenggaran haji Indonesia hingga kini masih menyisakan masalah-masalah yang tetap ditagih masyarakat untuk diselesaikan. Banyak pihak menyesalkan masih belum tuntasnya permasalahan haji. Beberapa masalah yang tetap perhatian masyarakat soal seputar pembatalan keberangkatan, ketidaknyamanan kedatangan di Arab Saudi dan perihal akomodasi (penginapan dan makanan). Sejumlah media cetak dan elektronik tanpa jemu memberitakan masih buruknya penyelenggaraan haji Indonesia. Sementara itu sejumlah pengamat maupun editorial mengusulkan perlunya evaluasi terhadap sistem penyelenggaraan haji yang ada selama ini. Sedangkan dari kalangan praktisi perjalanan haji menyadari betul penyelenggaraan haji Indonesia selama ini belum sepenuhnya memadai.
    Bagaimana bisa terjadi persoalan ini terus berulang. Bukankah penyelenggaraan haji di Indonesia sudah berlangsung begitu lama. Lantas dengan adanya kenyataan seperti itu, bagaimana kita seharusnya  menyikapi semua permasalahan yang ada itu. Apakah kita membiarkan setiap persoalan dengan persoalan berikutnya berlalu begitu saja? Kalau tidak, langkah-langkah apa yang seyogianya diambil ke depan agar penyelenggaran haji berlangsung sebagaimana harapan masyarakat. Rasa keprihatinan kita terus meningkat dari waktu ke waktu ketika musim haji datang, apalagi membaca berita dan mendengar kabar dari para calon jamaah yang batal diberangkatkan.
    Sudah waktunya segala persoalan yang menyangkut penyelenggaraan haji  ini diselesaikan secara tuntas. Karena itu kita perlu memikirkan bagaimana mencapai hasil yang memuaskan semua pihak, lebih-lebih bagi yang ingin mendapatkan haji yang mabrur. Juga yang tidak kalah penting adalah bagaimana upaya kita secara bersama-sama dalam meningkatkan angka partisipasi haji di Indonsia. Apakah dapat kita mengupayakan angka partisipasi tersebut selalu meningkat dari tahun ke tahun dengan jumlah pembatalan sama dengan nol?
    Manajemen haji
    Dari rangkaian permasalahan, ulasan dan usulan dari berbagai kalangan yang penyelenggaraan haji selama ini jelas mengisyaratkan sudah saatnya merevitalisasi manajemen haji. Pada prinsipnya, haji sebagai rukun Islam yang pada tingkat individu wajib ditunaikan maka sebenarnya juga dituntut kewajiban negara untuk membuat penyelenggaraan yang baik. Hal ini mengingat permasalahan haji sangat khusus dibandingkan dengan rukun-rukun yang lain. Keterlibatan negara dalam penyelenggaraan haji tidak bisa dipisahkan dengan ummatnya karena orang pergi haji tidak semudah orang pergi solat berjamaah ke mesjid-mesjid. Haji Indonesia datang dari tempat yang paling jauh di dunia dengan jumlah yang sangat besar.
    Dalam penyelenggaraan haji sendiri, peranan negara tidak hanya dipandang sebagai upaya sekadar memberangkatkan ke tanah suci dan memulangkannya ke tanah air dengan aman dan selamat tetapi juga bagaimana membinanya agar angka partisipasi dari waktu ke waktu semakin meningkat. Dengan tetap adanya pembatalan yang bahkan sampai saat ini di satu segi mengindikasikan gagalnya manajemen haji kita. Di segi lain angka pembatalan yang masing besar juga mencerminkan kurang terkoordinasinya pelaku-pelaku perjalan haji di tingkat bawah oleh komando Kementerian Agama. Pembiaraan permasalahan ini seakan terus dibenturkan dengan jumlah potensi jumlah calon jamaah yang besar mengingat perjalanan haji ini wajib bagi muslim lebih-lebih Indonesia merupakan penduduk muslim terbesar didunia. Karenanya, peran negara dalam hal ini harus didorong baik dalam peningkatan kualitas penyelenggaraan maupun kuantitas jumlah yang dapat diberangkatkan dari tahun ke tahun.
    Memang dimensi kebajikan negara pada ummatnya bisa berbeda-beda antar negara, karena masing-masing negara memiliki karakteristik yang dihadapinya. Ciri utama yang berkaitan dengan penyelenggaraan haji Indonesia khususnya  adalah jauhnya tempat tujuan yang ingin didatangi dan jumlah penduduk muslim yang luar biasa banyaknya. Kombinasi dua ciri tadi mengakibatkan permasalahan yang kita hadapi menjadi unik dan sangat  berbeda dibanding dengan negara-negara mayoritas muslim lainnya. Oleh karenanya, dengan kondisi dan kenyataan seperti ini seharusnya pula menjadi titik pangkal yang paling mendasar yang selalu dikaitkan dengan setiap penyelenggaraan haji. Dengan demikian, mau tak mau kita membutuhkan manajemen haji yang handal dan efektif. Sebab tanpa itu, benang kusut permasalahan penyelenggaraan haji selama ini tak akan ada selesai-selesainya, apalagi norma untuk mencapai angka partisipasi haji yang tinggi.
    Selain itu, seyogianya kita juga mempertimbangkan bahwa tempat pelaksanaan haji yang mengharuskan pula dilaksanakan di satu tempat yang ditentukan (Arab Saudi) menjadi kendala yang harus dicermati. Kita tidak bisa mengutak atik kapasitas tampung dan bentuk-bentuk pelayanan di sana karena hal itu sudah menjadi urusan negara mereka. Lebih baik kita berpaling ke permasalahan awal yang menjadi perhatian utama kita, agar pelayanan penyelenggaraan haji itu lebih baik sekaligus kita mengagas perlunya upaya meningkatkan partisipasi haji. Oleh sebab itu, selain pelaksanaannya menjadi lebih rumit dan kompleks, juga untuk melaksanakannya menjadi tidak mudah dan murah.
    Di sisi lain, pemerintah Arab Saudi sebenarnya sudah berupaya memperbaiki kualitas penyelenggaraan dan kuantitas daya tampung, tetapi bagaimanapun itu ada batasnya. Kita tidak perlu merisaukan itu, tetapi kita justru lebih elegan untuk memperbaiki manajemen haji kita. Kita harus men’setup’ ulang kebutuhan penyelenggaran haji kita berdasarkan situasi dan kondisi negara tujuan. Karena dengan begitulah kita bisa menolong dan menghindarkan kemungkinan yang terjadi, seperti halnya musibah yang pernah terjadi beberapa waktu lalu di Mina. Asal tahu saja, kejadian tersebut sudah tentu  diluar kehendak mereka dan juga kita tidak ingin itu terulang lagi. Meminimalkan resiko bagi para calon haji yang tengah mengikuti rangkaian kegiatan itu dan memaksimalkan jumlah yang seharusnya dapat diberangkatkan justru lebih penting kita pikirkan ke depan.
    Jika kita perhatikan problematika yang ada dan cenderung menumpuk dari tahun ke tahun, maka upaya pemerintah dalam memfasilitasi ini tidak hanya seberapa banyak yang dapat diberangkatkan tetapi juga seberapa besar harapan yang seharusnya ingin kita capai. Tantangan inilah yang harus kita majukan agar kita bisa menyelesaikan dua hal pokok, yaitu: pertama, kita harus menyadari bahwa haji yang bersifat wajib mengisyaratkan kemungkinan bertambahnya calon haji dari waktu ke waktu. Dengan kapasitas yang terbatas (di negara tujuan), maka tidak mungkin pula kita membatasi jumlah yang ingin diberangkatkan (di negara asal). Karenanya, tindakan yang seharusnya diemban negara adalah meningkatkan jumlah orang yang menjalankan haji dan bukan semata-mata diukur dari jumlah yang diberangkatkan.
    Kedua, negara seyogianya selalu berupaya meningkatkan kualitas pelayanan dalam arti melindungi dan memberi jalan untuk pencapaian haji yang mabrur bagi tiap warga negara yang (akan) diberangkatkan. Peran ini menjadi tugas maha penting negara dalam penyelenggaraan haji di Indonesia di masa depan. Kita tidak bisa lagi membebankan masalah ini apalagi menyalahkan peserta haji untuk melakukan yang menjadi kewajibannya. Haknya sebagai warga negara untuk memperoleh haji yang mabrur mutlak dipenuhi. Inilah salah satu alasan mengapa harus negara dalam menyelenggarakan haji.
    Dalam posisi yang sekarang, sesungguhnya juga kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan Kementerian Agama RI dalam kekisruhan penyelenggaraan haji ini. Sebab kita tahu kementerian ini hanyalah penerima tugas yang dilimpahkan negara kepadanya, dengan keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya mulai dari sumberdaya manusia, sistem dan pengelolaan yang profesional. Kurang efektifnya penyelenggaraan yang sampai sekarang bisa disimpulkan karena kita juga tahu segenap kemampuan daya dan sumberdaya kementerian ini terbatas dan kurang memadai untuk urusan yang bersifat internasional. Karena itu tidak adil menuntut sebanyak-banyaknya dari kementerian ini. Seharusnya tugas penyelenggaraan haji menjadi tanggungjawab semua pihak (pemerintah dan ummat).
    Kementerian Agama dalam hal ini hanyalah sebuah departemen yang pada tugas pokok dan fungsinya bersifat pembinaan ummat (software). Yaitu, untuk membina dan meningkatkan ketakwaan umatnya termasuk salah satu untuk pencapaian dalam menunaikan ibadah haji. Sehingga dengan demikian, di masa datang, tugas tambahan penyelenggaraan haji yang lebih bersifat teknis operasional (hardware) yang sudah terlanjur diberikan itu dapat kita tinjau kembali, dan bila perlu dapat dianulir oleh pembuat kebijakan (eksekutif dan legislatif). Dengan menempatkan kembali posisi ideal kementerian ini dan upaya mencari solusi penyelesaiannya memungkinan kita terhindar dari saling tuding menuding dalam mencermati permasalahan demi permasalahan.
    Badan penyelenggara
    Pertanyaan berikutnya adalah siapa yang sepatutnya diberi tugas dalam menyelenggarakan tanggungjawab yang besar itu agar pada nantinya lebih mungkin mencapai kedua sasaran yang hendak dicapai tadi. Sudah jelas bahwa untuk tujuan itu, kementerian tidak relevan lagi apalagi didelegasikan pada sebuah panitia yakni Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Indonesia. Sebaliknya, sekalipun departemen ini mampu dan kapabel, citranya sudah lama memudar. Hal ini mengingat adanya stigma yang ditempelkan pada kementerian ini berdasarkan buruknya prestasi penyelenggaraan haji selama ini. Lalu, apakah dengan demikian mungkin pula menurunkannya ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berada  di bawah kendalinya. Tidak juga, karena sekali lagi mengingat sulitnya mengandalkan BUMN. Karena selama ini kita tahu BUMN banyak disoroti, tetapi di lain pihak tidak mungkin pula memberikan sepenuhnya ke tangan swasta.
    Memahami maksud  untuk membuat (sistem) penyelenggaraan haji,  kita berpedoman pada situasi dan kondisi yang menyebabkan mengapa bentuk penyelenggaran haji Indonesia harus diurus oleh negara. Dengan potensi ummat yang besar untuk menjalankan haji dan kompleksitas penyelenggaraannya memungkin kita untuk meninjau kembali bahwa penyelenggaraan haji tidaklah sekadar usaha memberangkatkan, menuntun dan memulangkannya. Akan tetapi juga harus memperbesar jumlah yang diberangkatkan, mempertinggi kualitas tuntunan haji (agar semuanya mabrur) dan memperkecil jumlah yang meninggal jika mereka telah kembali. Harapan-harapan yang disebut ini menyebabkan bentuk penyelenggaraan haji bukan mutlak lagi di tangan Kementerian Agama semata mengingat sifat penyelenggaraannya yang multi tugas. Dengan kata lain, satu departemen seperti kementerian agama tidak akan mumpuni.
    Perlunya integrasi antar kementerian yang kompeten dalam soal urusan penyelenggaraan haji ini tentunya sudah jelas untuk meningkatkan kinerjanya. Dalam hal ini, setiap tugas pokok kementerian harus difungsikan secara maksimal. Masalah transportasi menjadi relevan fungsi Kemeneterian Perhubungan, fungsi kesehatan tanggung jawab Kementerian Kesehatan, fungsi pembentukan modal haji individu dan pengelolaan dana haji menjadi fungsi Kementerian Keuangan serta fungsi tuntunan seperti manasik dan mencapai haji yang mabrur tugas Kementerian Agama dan MUI. Sebagaimana tugas pokoknya, Kementerian Agama berperan penting dalam soal pembinaan ummat, pendidikan dan sosialisasi dalam hajinya. Namun demikian, integrasi semacam ini akan sulit dilakukan sekalipun komandonya di tangan presiden. Sebab pola kerja kementerian, sebagaimana selama ini diperankan oleh Kementerian Agama bisa muncul lagi dengan kepentingannya sendiri-sendiri.
    Jalan keluarnya adalah fungsi integrasi dan interaksi diperlukan tetapi soal ‘hardware’ penyelenggaraan seyogianya dibentuk dalam badan atau lembaga yang sesuai untuk maksud-maksud tersebut di bawah kendali minimal setingkat Menko (tepatnya Menko Kesra). Sebab dengan integrasi fungsi antar kementerian itu memerlukan pimpinan prinsipal yang lebih tinggi, tetapi bukan sebaliknya diturunkan ke tingkat yang lebih rendah seperti swastanisasi. Karena itu bentuk penyelenggaraan haji yang profesional seyogianya tetap di bawah kendali negara yang juga tetap dimungkinkan diawasi legislatif. Tidak adalagi bentuk ‘monopoli’ dalam penyelenggaraan (sebagaimana Kementerian Agama selama ini) sehingga tidak ada lagi konflik kepentingan yang menyebabkan harapan masyarakat banyak diabaikan. Ke depan, diharapkan  tidak adalagi ONH biasa, ONH Plus dan ONH khusus tetapi semuanya menjadi ‘ONH negara’. Dengan prinsip ini akan dimungkinkan setiap ummat memiliki kesempatan dan harapan yang sama dalam memenuhi kewajiban sebagai ummat tuhan dan hak sebagai warga negara. Gagasan ini dimaksudkan demi menghindarkan setiap calon haji atas golongan-golongan yang berbeda-beda. Biarkanlah penggolongan haji itu ada wilayah kekuasaan Tuhan.
    Dengan demikian, negara dalam kewajiban ini dapat membina dan memfasilitasi secara terus menerus pada semua ummatnya. Harapannya, tidak hanya kesempatan seluas-luasnya bagi yang mampu secara finansial tetapi juga memberi jalan agar setiap orang menjadi mampu. Dalam hal ini badan yang digagas itu nantinya tidak hanya bertugas sebagai penyelenggara haji tetapi juga badan pemerintah yang kompeten untuk meningkatkan partisipasi haji layaknya lembaga-lembaga pendidikan kita yang mampu mencapai kuantitas (buta huruf) jumlah  dan kualitas (pendidikan yang lebih baik) terhadap potensi calon haji Indonesia.
    Oleh karena itu, fungsi-fungsi badan tersebut diharapkan mampu maksimal untuk tugas-tugas berikut. Pertama, fungsi memberangkatkan, menuntun dan memulangkan. Ini berarti setiap ummat diberi kesempatan yang adil untuk diberangkatkan, dituntun agar paham dan khusuk dalam menjalankan rukun haji dan berhasil  dipulangkan dengan aman dan selamat ke rumah masing-masing serta mendapat haji yang mabrur di hadapan tuhan. Kedua, meyiapkan, melengkapi dan memfasilitasi kebutuhan ummat. Dalam persiapan ini utamanya kegiatan manasik haji benar-benar dilatih sedemikian rupa sehingga memperdekat kenyataan yang harus diketahui calon jemaah dengan kenyataan yang dihadapi di tanah suci. Untuk memudahkan perjalanan fungsi melengkapi ini  berarti menginisiasi ummat untuk memenuhi prosedur administrasi dan keuangan yang menjadi kriteria dalam suatu perjalanan haji yang bersifat internasional. Boleh jadi di masa datang kemampuan bahasa minimal perlu ditambahkan untuk meperlancar interaksi yang terjadi di arena pertemuan global tersebut sehingga tidak seperti yang sekarang dimana rombongan bagaikan kafilah yang berlari-lari sambil berpegangan tangan secara kuat-kuat. Kebutuhan ini sangat perlu demi meningkatkan kenyamanan dan memperdalam kekhusukan.
    Ketiga, fungsi mengorganisasikan dan mengendalikan. Dalam hal ini mengendalikan berarti memberi perlindungan dan jaminan yang baik bagi setiap calon haji. Bentuk-bentuk pemantauan dan pengawasan selama menunaikan haji di tempat tujuan dapat dideteksi secara dini baik terhadap kesehatan mereka maupun proses mencapai rukun hajinya. Kita tahu bahwa jemaah kita boleh dikatakan jemaah yang mungkin paling awam di arena internasional tersebut. Disamping itu juga, karakteristik perserta yang sangat heterogen baik dalam usia, pengetahuan, kesehatan dan kekuatan fisik. Perlu perhatian serius. Oleh karenanya proses pengendalian ini sudah didokumentasi dari awal agar pimpinan rombongan, pimpinan kloter dapat mengantisipasinya baik selama perjalanan maupun saat menjalankan kegiatan haji itu sendiri.
    Keempat, mereviu secara terus menerus dengan  bercermin pelaksanaan haji sebelumnya agar pada tahun-tahun berikutnya menjadi lebih baik dalam penyelenggaraan (negara) dan lebih baik pula dalam pencapaian haji perseorangan (ummat). Ini berarti tugas badan ini menjadi penting dalam memahami potensi, perencanaan yang ideal baik pada penggalangan ummat, selama proses pendaftaran, masa manasik haji, keberangkatan, pelaksanaan haji dan kepulangan.  Semua itu perlu diwujudkan dalam menjadikan penyelenggaraan haji yang bersifat nasional semakin dirasakan ummat.
    Kelima, badan ini seyogianya dapat melakukan fungsi penelitian dan pengembangan yang diharapkan dapat mengkaji semua aspek yang tidak hanya berkenaan dengan  penyelenggaraan haji tetapi juga kemampuan dan potensi ummat secara nasional untuk berhaji. Dengan demikian, fungsi lembaga ini dapat memperluas dan memperpanjang jangkauan negara dimungkinkan untuk memenuhi harapan dalam mempertinggi angka partisipasi haji.***Akhir Matua Harahap. 

    Komentar

    KabarMakkah.Com