Tanah suci Mekah sebagai arena pembersihan jiwa dan raga bagi siapa saja yang menunaikan ibadah haji memang sudah masyhur adanya. Seribu satu macam kisah para jamaah haji yang sering mendapat pengalaman spiritual begitu membekas di hati mereka. Pengalaman itu jugalah yang menimpa seorang jawara dari sebuah daerah pantai utara jawa. Apa dan bagimana yang ia alami?

Sebagai seorang tokoh yang disegani, selepas menjalani tugasnya sebagai PNS ia kerap diberi tanggungjawab untuk menertibkan warga sekitar dari segala macam pernak pernik yang menggaggu lingkungannya. Mulai dari urusan kebersihan, keamanan hingga hal-hal yang terkait bukan pada tempatnya.
Blusukan adalah pekerjaan di luar pekerjaannya sebagai PNS. Rutinitas itu ia jalani setiap harinya dengan semangat. Di luar semua itu, Herman ternyata memendam cita-cita ingin naik haji. Ia tak peduli walau dirinya hanya seorang pegawai PNS golongan rendah. Termasuk, lebel "jawara" yang ia sandang.
Bagi Herman, cita-cita naik haji tidak hanya niat belaka, tapi juga ikhtiyarnya untuk konsisten memperbaiki diri. Karenanya ia sekuat tenaga berusaha wujudkannya. Meskipun bergaji standar PNS rendahan dan tidak dapat upah dari warga dalam menjaga lingkungan, tapi setiap waktu ia selalu mewajibkan dirinya menyisihkan uangnya untuk bekal ongkos naik haji.
Seperti falsafah "sedikit-dikit nanti akan menjadi bukit”, cicilan itu akhirnya mencukupi untuk ongkos naik haji. Uang yang ia simpan dalam bentuk tabungan haji itu membuatnya terdaftar sebagai salah satu jamaah haji Indonesia yang akan terbang ke Arab Saudi bersama ratusan ribu jamaah haji lainnya.
Waktu keberangkatan kian dekat, Herman sangat girang, walau tanpa ditemani sang istri. Tambah bersyukur lagi karena saat itu warga di desanya masih banyak yang belum menunaikan ibadah haji. Karena itulah ia merasa hal ini merupakan kesempatan langka.
Sebagaimana umumnya calon jemaah haji Indonesia, Herman juga menggelar walimatussafar di rumahnya dengan mengundang ustadz dan para tetangga. Sebagian tetangga juga tak dapat menyembunyikan rasa bangga mereka terhadap Herman. Kesannya adalah, melalui Herman, tokoh desa, mewakili mereka dalam berhaji.
Tiba di tanah suci, Herman mengalami pengalaman spiritual yang begitu membekas di hatinya. Kisah ini ia ceritakan kepada seorang ustadz muda di lingkungannya. Sebut saja ustad Khusyaeri. Sang ustadz seringkali menyampaikan kisah ini dalam khotbahnya di setiap kesempatan.
Sebagaimana umumnya calon jemaah haji Indonesia, Herman juga menggelar walimatussafar di rumahnya dengan mengundang ustadz dan para tetangga. Sebagian tetangga juga tak dapat menyembunyikan rasa bangga mereka terhadap Herman. Kesannya adalah, melalui Herman, tokoh desa, mewakili mereka dalam berhaji.
Tiba di tanah suci, Herman mengalami pengalaman spiritual yang begitu membekas di hatinya. Kisah ini ia ceritakan kepada seorang ustadz muda di lingkungannya. Sebut saja ustad Khusyaeri. Sang ustadz seringkali menyampaikan kisah ini dalam khotbahnya di setiap kesempatan.
Kejadian unik pertama saat Herman, sang jawara kampung itu, tiba-tiba sempoyongan seperti ada orang yang secara sekelabat memukulnya dari sisi samping. Setelah ditoleh di sekililing, ternyata tidak ada satupun yang memukulnya. Ini ia alami di Mekkah dan Madinah. Herman menghitung, setidaknya ia mendapat kurang lebih 20 pukulan "hantu" tersebut. Bahkan tidak jarang ia kena “plototan” dari seorang yang bertubuh tinggi besar dengan warna kulit hitam legam.
Kejadian itulah yang membuat Herman merenung: apa sebenarnya yang ingin diisyaratkan Allah SWT kepadanya dengan kejadian itu? Apakah ada yang salah dengan langkah dan niatnya dalam menunaikan ibadah haji ini? Herman hanya bisa bertanya-tanya tanpa tahu jawabannya. Ia juga tak habis pikir kenapa mesti seperti ada orang yang memukul; dan bukannya bicara tentang apa yang tidak suka terhadapnya.
Di terpa kejadian seperti itu, bukannya takut keluar dari pemondokan, tapi ia tetap teguh dan tekun menunaikan rukun haji. Tak hanya mengerjakan yang wajib, ia juga menunaikan ibadah sunnah yang sering dilakukan jamaah haji pada umumnya seperti shalat dan thawaf di Ka’bah.
Suatu ketika, Herman menunaikan thawaf. Ia mengumandangkan kalimat talbiyah bersama jutaan jamaah lain dari penjuru dunia. “Labbaik allahuma labbaik,’ aku datang memenuhi seruan-Mu, ya Allah, aku datang". Seketika itu lantai Masjidil Haram terasa sejuk di kakinya. Padahal lantai itu sudah diinjak oleh milyaran jamaah haji sejak dahulu kala. Lantai itu merekam keshalehan dan niat baik manusia yang ingin dekat dengan Tuhannya.
Di tengah kesejukan kakinya menginjak lantai masjid megah nan suci yang menjadi pemersatu umat Islam dunia dari segala zaman itulah tiba-tiba ia merasakan nyeri luar biasa di perut dan pipinya. Ia berteriak tertahan. Rasa sakit itu seperti sehabis dipukul oleh seorang petinju Mike Tyson yang meng-KO-kan lawannya.
Herman kaget setengah hati karena merasakan ada cairan merah keluar dari mulutnya. Pelipisnya pun keluar darah hingga tetesan darahnya membasahi lantai Masjidil Haram di muka Ka’bah. Herman kemudian menyingkir dari kerumunan jamaah, lalu terduduk pucat di tempat yang menurutnya cukup aman dari resiko terinjak-injak kaki para jamaah yang melakukan thawaf.
Ia tak mengerti apa yang menimpanya. Sungguh tak mungkin orang yang kenal pun tidak. Dengan mata nanar, Herman menatap satu persatu jamaah yang serius melaksanakan thawaf sambil satu tangan memegang perutnya dan satu tangan lainnya mengusap pelipisnya yang berdarah. Orang-orang yang ada di sekitarnya juga seperti tak terlalu memperhatikannya. Mereka tetap berjalan memutar menunaikan thawaf.
Herman kaget setengah hati karena merasakan ada cairan merah keluar dari mulutnya. Pelipisnya pun keluar darah hingga tetesan darahnya membasahi lantai Masjidil Haram di muka Ka’bah. Herman kemudian menyingkir dari kerumunan jamaah, lalu terduduk pucat di tempat yang menurutnya cukup aman dari resiko terinjak-injak kaki para jamaah yang melakukan thawaf.
Ia tak mengerti apa yang menimpanya. Sungguh tak mungkin orang yang kenal pun tidak. Dengan mata nanar, Herman menatap satu persatu jamaah yang serius melaksanakan thawaf sambil satu tangan memegang perutnya dan satu tangan lainnya mengusap pelipisnya yang berdarah. Orang-orang yang ada di sekitarnya juga seperti tak terlalu memperhatikannya. Mereka tetap berjalan memutar menunaikan thawaf.
Herman menarik nafas dalam-dalam sambil sesekali memenjamkan matanya. Dalam kebingungan dan kepedihannya, ia berujar pelan menyebut nama Allah. “Saya pasrah, ya Allah, saya pasrah atas apa yang Engkau timpakan padaku, aku berserah diri kepada-Mu,” ujar Herman lirih sambil menahan sakit.
Saat itulah tiba-tiba ada seorang kakek yang menghampirinya. Kakek itu memperhatikan luka Herman yang sudah terduduk lemas. Sesaat kemudian, kakek itu menyerahkan sebuah botol air kepadanya. “Ini air zam-zam. Usaplah luka di pelipismu dengan air ini dan juga perutmu itu. Insya Allah, Allah akan memberi kesembuhan,” ujar sang kakek dengan nada pelan.
Herman menuruti apa yang disarankan sang kakek. Ajaibnya, secara perlahan rasa sakitnya reda. Bahkan luka di pelipisnya seperti merapat dan darah tak lagi mengalir dari luka itu, hingga akhirnya Herman merasakan sembuh total. Dengan luapan gembira, ia mengucap tahmid berulang kali, tanda syukur. Saat itulah Herman tersadar akan kakek yang menolongnya tadi, dan ternyata sudah tak ada lagi di hadapannya.
Sesampai ke tanah air ia masih tak mengerti akan kejadian yang menimpanya itu. Herman hanya merasa bahwa saat peristiwa yang menimpanya adalah ujian Allah dalam proses pertaubatan hidup. Beberapa waktu kemudian, ia baru teringat pernah memukul seorang tukang becak di pasar yang lokasinya tak jauh dari rumahnya.
Ketika itu yang sedang Herman mengendarai motor Vespa-nya mau berbelok. Tiba tiba muncul becak, yang sebenarnya posisi becak dalam posisi benar. Hanya kecepatan motor yang dikendarai Herman cukup kencang, hingga motor yang ia tunggani menyerempet tukang becak itu. Apalagi rem motornya kurang baik. Braaaaak! Herman terjangkang jatuh.
Pembawaan Herman yang saat itu memang punya temperamen tinggi, bukannya meminta maaf, tapi malah marah-marah sampai naik pitam. Herman pun memukul perut dan pelipis tukang becak yang tak bersalah itu hingga babak belur berdarah. Beruntung kejadian tersebut dilerai oleh seorang mandor pasar, sehingga tukang becak ini tidak sampai pingsan akibat pukulan Herman. Kejadian sepersis inilah yang menimpa Herman di tanah suci.
Kejadian di tanah suci akhirnya membuat Herman tersadar. Ia yang sebelumnya temperamental, kini tampak lebih tenang dan tak suka marah-marah lagi. Ia juga makin rajin menunaikan ibadah dan terlibat dalam kegiatan keagamaan di lingkungannya. *** [SDM/CepatNaikHaji.Com]
Komentar
Posting Komentar