Tukang Soto Naik Haji

Ardian Mustafa yakin bukan hanya tukang bubur yang bisa naik haji. Tukang soto pun bisa. Berikut cerita bertutur Ardian, PNS yang juga buka usaha warung soto.
SAYA mengawali karier sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada 2003 silam di salah satu kementerian. Jika dihitung sampai sekarang, artinya saya sudah 11 tahunan jadi abdi negara. Pun begitu, yang saya rasakan, kehidupan saya masih pas-pasan. Makanya, belakangan saya mulai berpikir untuk mencari tambahan penghasilan biar bisa tetap bertahan di Balikpapan, kota yang biaya hidupnya cukup tinggi. Akhirnya, ide menjual soto ayam khas Jawa pun muncul.
Sebagai informasi saja, sebelum jadi PNS saya sempat kuliah di Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Fakultas Hukum selama 2 semester. Kenapa hanya 2 semester. Sebab saat itu bapak memasuki masa pensiun dan juga bertepatan dengan krisis moneter. Makanya saya ikut keluarga pindah dari Surabaya ke kampung halaman orangtua di Bojonegoro. Bapak saya berpendapat, hidup di desa lebih enak sebab kebutuhan pokok cukup terjangkau, gaji pensiunan cukup untuk menopang hidup.
Dulu saya memutuskan menjadi PNS karena diajak oleh tetangga. Alhamdulillah saya diterima lalu bertugas di Pasuruan, Jawa Timur selama 6 bulan. Kemudian menerima Surat Keputusan (SK) Penempatan Definitif di Waingapu, sebuah kota di Nusa Tenggara Timur. Walau terasa berat, tapi akhirnya saya menerimanya dengan lapang dada, demi tuntutan biaya hidup dan membahagiakan kedua orangtua.

Tahun 2003 saya ke Waingapu belum ada koran harian. Hanya koran mingguan yang dikirim dari Jawa tiap dua minggu sekali. Pesawat juga masih jarang. Jadwal pesawat tujuan Jawa hanya ada sekali dalam seminggu. Itu pun dengan harga tiket yang luar biasa mahal. Agar lebih hemat, saya dan teman-teman yang akan pulang ke Jawa lebih memilih menggunakan kapal.
Setelah hampir 5 tahun bertugas di Waingapu, Allah menakdirkan saya pindah ke Mataram, Nusa Tenggara Barat. Di kota itu, kehidupan lebih maju. Mal dan bermacam tempat hiburan sudah bertebaran. Jauh berbeda dengan Waingapu yang enggak ada mal atau tempat hiburan modern lain sebagai pelepas penat.
Satu setengah tahun di Mataram, saya menikah dengan seorang gadis dari Balikpapan bernama Dhewi Marlia. Tepat 2 tahun saya bertugas di Mataram akhirnya pindah ke Kota Minyak. Di kota ini jiwa usaha saya kembali bergairah seperti ketika di Mataram. Dulu saya pernah jualan kaus sepak bola. Pertama kali jualan di emperan alun-alun Taman Udayana Mataram. Dua bulan jualan kaus saya semakin ramai. Sayang, akhirnya harus berhenti karena saya pindah ke Balikpapan.
Di Balikpapan saya memulai usaha kuliner berjualan soto ayam dengan nama Warung Soto Ayam Koya Cak Mus. Lokasinya di depan Koperasi Bulog, samping Bank Danamon, tepat di seberang Bank Panin Grand Aston. Lokasi yang sangat strategis.
Ilmu meracik bumbu soto saya dapat dari seorang penjual soto di Klandasan, bernama Pak Kasto. Kurang lebih seminggu saya mempelajari cara membuat bumbu dari beliau.
Semenjak memulai usahanya ini dua bulan lalu, suka dan duka pun tak pernah lepas. Mulai dengan mendapat cibiran orang, sampai rugi karena hanya mendapat 4 pembeli. Saya dibilangi PNS kok enggak malu jualan kaki lima. Tapi semuanya saya anggap sebagai penyemangat dengan harapan suatu saat bisa sukses.
Alhamdulillah, istri saya mendukung usaha jualan soto ayam ini. Di sela kesibukan istri mengurus anak di rumah, dia masih sempat membantu membuat bumbu. Menjadi sukses memang tidak mudah. Saya harus lebih giat berjuang. Setiap hari, saya harus bangun pukul 4 subuh untuk mempersiapkan bahan soto. Biasanya, setelah salat tahajud saya mulai menggoreng ayam, meracik bumbu dan sambal. Sekitar pukul 7 pagi saya berangkat kerja sambil mengantar bahan soto ke warung yang saya sewa.
Warung buka mulai pukul 8 pagi sampai 3 sore. Omzetnya belum terlalu banyak tapi yang terpenting cukup buat bayar gaji pegawai dan sewa tempat. Saya termotivasi jualan soto karena kepingin menaikkan haji orangtua dan mertua. Biarpun sedikit tiap bulan hasil jualan selalu saya sisihkan untuk ditabung.
Kehidupan di Balikpapan berat. Kebutuhan hidup mahal, di satu sisi pekerjaan saya menuntut harus siap pindah kerja kapan pun juga. Sedang saya tipe orang yang tidak bisa jauh dari keluarga. Daripada saya korupsi mending saya usaha kuliner. Toh, lebih terhormat hasilnya daripada korupsi.
Saat ini bisa dibilang saya sedang dalam masa transisi menjadi seorang pengusaha. Saya sadar untuk menjadi sukses butuh pengorbanan dan penuh tantangan. (https://www.facebook.com/NurRamadhanhajjUmrohService/posts/673846345971635)

Komentar

KabarMakkah.Com